Jumat, 28 Juli 2017

Analisis Video CBT (Cognitive Behavior Therapy)

https://www.youtube.com/watch?v=VNHPxkT0wIg

Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam CBT 
(McLeod, 2006: 157-158) yaitu:
a.Menata keyakinan irasional.
b.Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
c.Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor.
d.Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril.
e.Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100.
f.Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
g.Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli.
h.Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.
i.Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak tegas.

Pembahasan:
Dalam Video ini, si anak memiliki pemikiran bahwa laba-laba merupakan binatang yang sangat menakutkan, selain itu juga ia sering mendapatkan mimpi buruk dari ketakutannya tersebut. Disitu terapis menata keyakinan irasional si anak dengan memberikan alasan alasan dan pernyataan mengenai laba-laba dan mimpi buruk dengan kalimat yang lebih rasional. Terapis juga menggunakan Bibliotherapy, dimana si anak dibuat agar dapat menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan dengan cara merubah mindset bahwa laba-laba adalah hewan yang menakutkan menjadi laba-laba merupakan hewan kecil yang tidak sama sekali menakutkan untuk dirinya. Terapis juga mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan terapis dan mencoba menggunakan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril. Anak diajak belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.

Dapus:
McLeod,  John.  (2006). Pengantar  Konseling:  Teori  dan  Studi  Kasus. Alih  Bahasa oleh A.K. Anwar. Jakarta: Kencana.


Sabtu, 22 Juli 2017

Peran Psikoterapi dalam Kehidupan Bermasyarakat



Peran Psikoterapi dalam Kehidupan Bermasyarakat
                             
1.      Definisi psikoterapi         
Psikoterapi berasal dari dua kata, yaitu “psyche” yang berarti “jiwa” dan “therapy” yang berarti “pengobatan”. Jadi “psikoterapi” berarti “pengobatan jiwa” .Sampai saat ini psikoterapi dianggap sebagai aspek murni psikiatri yang merupakan bagian integral dari praktek psikatri dan relevant digunakan pada gangguan psikiatrik, Psikoterapi digunakan untuk ,meningkatkan sikap fleksibilitas, kebebasan, kebahagian dalam hidup mereka.
Psikoterapi merupakan usaha seorang terapis untuk memberikan suatu pengalaman baru bagi orang lain. Pengalaman ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengelola distres subjektif. Ini tidak dapat mengubah problem pasien yang ada.Tetapi dapat meningkatkan penerimaan diri sendiri, membolehkan pasien untuk melakukan perubahan kehidupan dan menolong pasien untuk mengelola lingkungan secara lebih efektif.
 Psikoterapi adalah perawatan dengan menggunakan alat-alat psikologik terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dimana seorang ahli secara sengaja menciptakan hubungan profesional dengan pasien, yang bertujuan :
a.       Menghilangkan, mengubah atau menurunkan gejala-gejala yang ada.
b.      Memperantarai perbaikan pola tingkah laku yang terganggu, dan
c.       Meningkatkan pertumbuhan serta mengembangkan kepribadian yang positif.
Psikoterapi adalah suatu intervensi interpersonal, relational yang digunakan oleh psikoterapis untuk membantu pasien atau klien dalam menghadapi problem-problem kehidupannya. Biasanya hal ini meliputi peningkatan perasaan sejahtera individual dan mengurangi pengalaman subjektif yang tidak nyaman. Psikoterapis memakai suatu batasan tehnik-tehnik yang berdasarkan pengalamannya membangun hubungan, perubahan dialog, komunikasi dan perilaku dan dirancang untuk memperbaiki kesehatan mental pasien atau klien, atau memperbaiki hubungan kelompok (seperti dalam keluarga).
2.       Karakteristik umum dari psikoterapi
·         Berdasarkan hubungan interpersonal
·         Menggunakan komunikasi verbal antara dua orang atau lebih sebagai elemen penyembuhan
·         Keahlian khusus pada bagian dari terapis dalam menggunakan komunikasi dan hubungan dalam cara penyembuhan
·          Berdasarkan struktur rasional atau konsep yang digunakan untuk mengerti problem pasien
·         Penggunaan prosedur dalam hubungan yang rasional
·         Hubungan terstruktur
·         Harapan perbaikan
3.      Klasifikasi Psikoterapi 
      Menurut Wolberg :
a.       Psikoterapi Restrukturisasi
Contohnya : psikoanalisa
b.      Psikoterapi Re-edukasi
Contohnya : psikoterapi kognitif dan psikoterapi perilaku’
c.       Psikoterapi Supportif.
Contohnya : ventilasi, sugestif, persuasif, reassurance, bimbingan dan konseling
Klasifikasi psikoterapi dikelompokkan :
a.       Menurut siapa yang terlibat dalam pengobatan
1)      Psikoterapi individual
2)      Psikoterapi kelompok
3)      Psikoterapi berpasangan
4)       Psikoterapi keluarga 

Pembahasan:
Image result for group therapy
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosi (Videbeck, S.L, 2008). Menurut Towsend (2009) kesehatan jiwa merupakan kemampuan beradaptasi terhadap stressor, baik dari diri sendiri maupun lingkungan, berdasarkan kondisi yang nyata dan logika, perasaan dan perilaku yang sesuai dengan norma dan budaya setempat. Kesehatan jiwa merupakan kondisi emosional, psikologis dan sosial yang sehat serta mampu beradaptasi dari stresor yang ditandai dengan perilaku, koping dan emosi yang adaptif. Jika seseorang tidak berhasil beradaptasi dan koping tidak adaptif serta bersikap negatif terhadap diri sendiri dan orang lain dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling banyak ditemukan. Skizofrenia merupakan sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan dan Saddock, 2005). Perubahan perilaku merupakan salah satu gejala yang dijumpai pada skizofrenia. Perilaku kekerasan merupakan tindakan atau perilaku yang membahayakan baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Menurut Stuart dan Laraia (2005), perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal. Tindakan keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan lebih berfokus pada pengendalian perilaku kekerasan secara eksternal, yaitu pengikatan fisik (restrain) dan pembatasan gerak (isolasi) serta tindakan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipsikotik. Namun seringkali setelah diberi intervensi, pasien melakukan perilaku kekerasan ulang ketika sudah berkumpul kembali dengan teman-temannya, tiga pasien perilaku kekerasan yang sudah dilakukan perawatan atau penanganan maka dua diantaranya akan terjadi perilaku kekerasan ulang.
Terjadinya perilaku kekerasan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor predisposisi penyebab perilaku kekerasan dikaitkan dengan faktor psikologis, sosial budaya dan biologis. Menurut Wahyuningsih, D (2009) faktor psikologis yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan adalah kehilangan, kegagalan yang berakibat frustasi, penguatan dan dukungan terhadap perilaku kekerasan, dan riwayat perilaku kekerasan. Sedangkan faktor presipitasi yang dapat menecetuskan terjadinya perilaku kekerasan ada dua, yaitu internal dan eksternal. Yang termasuk faktor internal klien diantaranya: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kurang percaya diri. Sedangkan keributan, kehilangan obyek atau orang yang berharga dan adanya konflik interaksi sosial merupakan faktor eksternal atau lingkungan yang dapat mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan. Situasi lingkungan atau kejadian eksternal dapat diinterprestasikan oleh pasien sebagai suatu ancaman, yang menyebabkan pasien berperilaku agresif atau perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan yang terjadi pada pasien perlu penanganan secara tepat, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, karena pasien dengan perilaku kekerasan dapat membahayakan diri pasien itu sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar, misalnya bunuh diri atau membunuh orang lain. Untuk itu selain penaganan pengendalian perilaku dari diri pasien sendiri dengan latihan asertif, juga harus mempertimbangkan lingkungan untuk semua pasien ketika mencoba mengurangi, mengendalikan atau menghilangkan perilaku kekerasan pasien. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah terapi suportif asertif. Terapi ini merupakan penggabungan antara terapi suportif dan latihan asertif, dimana pasien diajak secara bersama-sama dengan kelompoknya untuk saling memberikan dukungan berperilaku asertif, sehingga terbentuk suatu situasi terkondisi, dan dukungan dalam kelompok. Terapi ini dapat dilakukan perawat dengan menggunakan pendekatan model keperawatan Interaksi King. King mengemukakan bahwa manusia sebagai sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungannya, dimana interaksi antara individu itu diharapkan mampu mengubah persepsi dan menghasilkan pemaknaan yang positif, sehingga memunculkan tindakan yang positif pula (Alligood, 2010). Menurut model keperawatan King, didalam sistem interaksi yang dinamis terdiri dari tiga sistem yang saling berinteraksi, yaitu sistem personal (individu), sistem interpersonal (kelompok) dan sistem sosial (Tomey & Alligood, 2006).
Terapi kelompok suportif asertif dengan pendekatan model keperawatan interaksi King diberikan kepada pasien dengan menggunakan dua sistem yang saling berinteraksi yaitu sistem personal (individu) dan sistem interpersonal (kelompok). Sistem personal (individu) digunakan terutama pada sesi pertama dan kedua, sesi pertama diberikan untuk melatih cara-cara megendalikan perilaku kekerasan dan sesi kedua melatih bersikap asertif, dimana setelah diberikan sesi pertama dan kedua itu diharapkan pasien mempunyai persepsi dan gambaran diri yang positif sehingga dapat berperilaku asertif dalam menghadapi stressor. Untuk sistem interpersonal (kelompok) pada sesi ke tiga dan empat, yaitu mengajak pasien secara bersama-sama dengan kelompoknya untuk saling memberikan dukungan dalam berperilaku asertif sehingga pasien dapat lebih adaptif dalam menghadapi stressor.


DAPUS
Guilfoyle, M. (2005). From therapeutic power to resistance: Therapy and cultural hegemony. Theory & Psychology, 15(1), 101-124
Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition, 925 – 931.
Townsend, M.C. 2009. Essentials of psychiatric mental health nursing .3rd ed. Philadelphia, F.A. Davis Company
Videbeck, Sheila L. 2008. Psychiatric mental health nursing. 3rd edition. Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins
Stuart, G.W., and Laraia .2005., Principles and practice of psychiatric nursing .7th ed. St.Louis, Missouri: Mosby Year Book
Kaplan & Saddock. 2005. Comprehensive textbook of psychiatry. 8th ed, Lippincot: Williams & Wilkins.
Tommey, A.M and M.R. Alligood. 2006. Nursing Theorists and Their Work. Philadelphia USA: Mosby
Alligood. 2010. Nursing Theory Utilization & Application. Fourth edition. Philadelphia USA: Mosby
Wahyuningsih,D 2009. Pengaruh Assertiveness Training (AT) terhadap Perilaku Kekerasan pada Klien Skizofrenia di RSUD Banyumas. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta
Khamida. TERAPI KELOMPOK SUPORTIF ASERTIF MENURUNKAN NILAI PERILAKU KEKERASAN PASIEN SKIZOFRENIA BERDASARKAN MODEL KEPERAWATAN INTERAKSI KING. Jurnal Keperawatan. Unusa: Surabaya.

Sabtu, 15 Juli 2017

Cognitive Behavior Therapy



Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy thinking. Sedangkan Terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.

Tujuan CBT
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam konseling. Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.

Prinsip – Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini diharapkan dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Beck (2011):
Prinsip nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang terus berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara berfikir, merasa dan bertindak.
Prinsip nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling.
Prinsip nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
Prinsip nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.
Prinsip nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus pada kejadiansaat ini. Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
Prinsip nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan edukasi, bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan pada pencegahan. Sesi pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya termasuk proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
Prinsip nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan melatih konseli untuk melakukan self-help.
Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang terstruktur.Struktur ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal, menganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework asigment), membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih dipahami oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di akhir sesi konseling.
Prinsip nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan mengurangi kondisi psikologis negatif. Konselor juga menciptakan pengalaman baru yang disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan pengalaman barunya dengan cara menguji pemikiran mereka (misalnya: jika saya melihat gambar labalaba, maka akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti bisa menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik). Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor dan konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan respon yang lebih bermanfaat dan akurat.
Prinsip nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaanpertanyaan yang berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan dalam bentuk sokratik merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT tidak mempermasalahkan konselor menggunakan teknik-teknik dalam konseling lain seperti kenik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling yang lebih saingkat dan memudahkan konelor dalam membantu konseli. Jenis teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor tehadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.

Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam CBT 
(McLeod, 2006: 157-158) yaitu:
a.Menata keyakinan irasional.
b.Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
c.Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor.
d.Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril.
e.Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100.
f.Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
g.Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli.
h.Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.
i.Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak tegas.





Dalam Video ini, si anak memiliki pemikiran bahwa laba-laba merupakan binatang yang sangat menakutkan, selain itu juga ia sering mendapatkan mimpi buruk dari ketakutannya tersebut. Disitu terapis menata keyakinan irasional si anak dengan memberikan alasan alasan dan pernyataan mengenai laba-laba dan mimpi buruk dengan kalimat yang lebih rasional. Terapis juga menggunakan Bibliotherapy, dimana si anak dibuat agar dapat menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan dengan cara merubah mindset bahwa laba-laba adalah hewan yang menakutkan menjadi laba-laba merupakan hewan kecil yang tidak sama sekali menakutkan untuk dirinya. Terapis juga mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan terapis dan mencoba menggunakan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril. Anak diajak belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.


Dapus

Bush, John Winston. (2003). Cognitive Behavioral Therapy: The Basics. [Online].
Tersedia: http://cognitivetherapy.com/basics.html

Beck, A. T. (1964). Thinking and Depression: II. Theory and Therapy. Archives of General Psychiatry, 10, 561–571
Beck, Judith S. (2011). Cognitive-Behavior Therapy: Basic and Beyond (2nded). New York: The Guilford Press.
McLeod,  John.  (2006). Pengantar  Konseling:  Teori  dan  Studi  Kasus. Alih  Bahasa oleh A.K. Anwar. Jakarta: Kencana.

Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.