Peran
Psikoterapi dalam Kehidupan Bermasyarakat
1.
Definisi psikoterapi
Psikoterapi
berasal dari dua kata, yaitu “psyche” yang berarti “jiwa” dan “therapy” yang
berarti “pengobatan”. Jadi “psikoterapi” berarti “pengobatan jiwa” .Sampai saat
ini psikoterapi dianggap sebagai aspek murni psikiatri yang merupakan bagian
integral dari praktek psikatri dan relevant digunakan pada gangguan psikiatrik,
Psikoterapi digunakan untuk ,meningkatkan sikap fleksibilitas, kebebasan,
kebahagian dalam hidup mereka.
Psikoterapi
merupakan usaha seorang terapis untuk memberikan suatu pengalaman baru bagi
orang lain. Pengalaman ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan seseorang
dalam mengelola distres subjektif. Ini tidak dapat mengubah problem pasien yang
ada.Tetapi dapat meningkatkan penerimaan diri sendiri, membolehkan pasien untuk
melakukan perubahan kehidupan dan menolong pasien untuk mengelola lingkungan
secara lebih efektif.
Psikoterapi adalah perawatan dengan
menggunakan alat-alat psikologik terhadap permasalahan yang berasal dari
kehidupan emosional dimana seorang ahli secara sengaja menciptakan hubungan profesional
dengan pasien, yang bertujuan :
a.
Menghilangkan, mengubah atau menurunkan
gejala-gejala yang ada.
b.
Memperantarai perbaikan pola tingkah
laku yang terganggu, dan
c.
Meningkatkan pertumbuhan serta
mengembangkan kepribadian yang positif.
Psikoterapi adalah suatu intervensi
interpersonal, relational yang digunakan oleh psikoterapis untuk membantu
pasien atau klien dalam menghadapi problem-problem kehidupannya. Biasanya hal
ini meliputi peningkatan perasaan sejahtera individual dan mengurangi
pengalaman subjektif yang tidak nyaman. Psikoterapis memakai suatu batasan
tehnik-tehnik yang berdasarkan pengalamannya membangun hubungan, perubahan
dialog, komunikasi dan perilaku dan dirancang untuk memperbaiki kesehatan
mental pasien atau klien, atau memperbaiki hubungan kelompok (seperti dalam
keluarga).
2.
Karakteristik
umum dari psikoterapi
·
Berdasarkan hubungan interpersonal
·
Menggunakan komunikasi verbal antara dua
orang atau lebih sebagai elemen penyembuhan
·
Keahlian khusus pada bagian dari terapis
dalam menggunakan komunikasi dan hubungan dalam cara penyembuhan
·
Berdasarkan struktur rasional atau konsep yang
digunakan untuk mengerti problem pasien
·
Penggunaan prosedur dalam hubungan yang
rasional
·
Hubungan terstruktur
·
Harapan perbaikan
3.
Klasifikasi Psikoterapi
Menurut Wolberg
:
a.
Psikoterapi Restrukturisasi
Contohnya :
psikoanalisa
b.
Psikoterapi Re-edukasi
Contohnya :
psikoterapi kognitif dan psikoterapi perilaku’
c.
Psikoterapi Supportif.
Contohnya :
ventilasi, sugestif, persuasif, reassurance, bimbingan dan konseling
Klasifikasi psikoterapi dikelompokkan :
a.
Menurut siapa yang terlibat dalam
pengobatan
1)
Psikoterapi individual
2)
Psikoterapi kelompok
3)
Psikoterapi berpasangan
4)
Psikoterapi keluarga
Pembahasan:
Kesehatan
jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat
dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif,
konsep diri yang positif, dan kestabilan emosi (Videbeck, S.L, 2008). Menurut
Towsend (2009) kesehatan jiwa merupakan kemampuan beradaptasi terhadap
stressor, baik dari diri sendiri maupun lingkungan, berdasarkan kondisi yang
nyata dan logika, perasaan dan perilaku yang sesuai dengan norma dan budaya
setempat. Kesehatan jiwa merupakan kondisi emosional, psikologis dan sosial
yang sehat serta mampu beradaptasi dari stresor yang ditandai dengan perilaku,
koping dan emosi yang adaptif. Jika seseorang tidak berhasil beradaptasi dan
koping tidak adaptif serta bersikap negatif terhadap diri sendiri dan orang
lain dapat mengakibatkan gangguan jiwa.
Skizofrenia
merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling banyak ditemukan. Skizofrenia
merupakan sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif,
emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku (Kaplan dan Saddock, 2005).
Perubahan perilaku merupakan salah satu gejala yang dijumpai pada skizofrenia.
Perilaku kekerasan merupakan tindakan atau perilaku yang membahayakan baik pada
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Menurut Stuart dan Laraia (2005),
perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi
oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku kekerasan baik pada diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal. Tindakan
keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan lebih berfokus pada
pengendalian perilaku kekerasan secara eksternal, yaitu pengikatan fisik
(restrain) dan pembatasan gerak (isolasi) serta tindakan kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat antipsikotik. Namun seringkali setelah diberi
intervensi, pasien melakukan perilaku kekerasan ulang ketika sudah berkumpul
kembali dengan teman-temannya, tiga pasien perilaku kekerasan yang sudah
dilakukan perawatan atau penanganan maka dua diantaranya akan terjadi perilaku
kekerasan ulang.
Terjadinya
perilaku kekerasan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor predisposisi dan
faktor presipitasi. Faktor predisposisi penyebab perilaku kekerasan dikaitkan
dengan faktor psikologis, sosial budaya dan biologis. Menurut Wahyuningsih, D
(2009) faktor psikologis yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
adalah kehilangan, kegagalan yang berakibat frustasi, penguatan dan dukungan
terhadap perilaku kekerasan, dan riwayat perilaku kekerasan. Sedangkan faktor
presipitasi yang dapat menecetuskan terjadinya perilaku kekerasan ada dua,
yaitu internal dan eksternal. Yang termasuk faktor internal klien diantaranya:
kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, dan kurang percaya diri.
Sedangkan keributan, kehilangan obyek atau orang yang berharga dan adanya
konflik interaksi sosial merupakan faktor eksternal atau lingkungan yang dapat
mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan. Situasi lingkungan atau kejadian
eksternal dapat diinterprestasikan oleh pasien sebagai suatu ancaman, yang
menyebabkan pasien berperilaku agresif atau perilaku kekerasan.
Perilaku
kekerasan yang terjadi pada pasien perlu penanganan secara tepat, agar tidak
terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, karena pasien dengan perilaku
kekerasan dapat membahayakan diri pasien itu sendiri, orang lain, maupun
lingkungan sekitar, misalnya bunuh diri atau membunuh orang lain. Untuk itu
selain penaganan pengendalian perilaku dari diri pasien sendiri dengan latihan
asertif, juga harus mempertimbangkan lingkungan untuk semua pasien ketika
mencoba mengurangi, mengendalikan atau menghilangkan perilaku kekerasan pasien.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah terapi suportif asertif. Terapi ini
merupakan penggabungan antara terapi suportif dan latihan asertif, dimana
pasien diajak secara bersama-sama dengan kelompoknya untuk saling memberikan
dukungan berperilaku asertif, sehingga terbentuk suatu situasi terkondisi, dan
dukungan dalam kelompok. Terapi ini dapat dilakukan perawat dengan menggunakan
pendekatan model keperawatan Interaksi King. King mengemukakan bahwa manusia
sebagai sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungannya, dimana interaksi
antara individu itu diharapkan mampu mengubah persepsi dan menghasilkan
pemaknaan yang positif, sehingga memunculkan tindakan yang positif pula
(Alligood, 2010). Menurut model keperawatan King, didalam sistem interaksi yang
dinamis terdiri dari tiga sistem yang saling berinteraksi, yaitu sistem
personal (individu), sistem interpersonal (kelompok) dan sistem sosial (Tomey
& Alligood, 2006).
Terapi
kelompok suportif asertif dengan pendekatan model keperawatan interaksi King
diberikan kepada pasien dengan menggunakan dua sistem yang saling berinteraksi
yaitu sistem personal (individu) dan sistem interpersonal (kelompok). Sistem
personal (individu) digunakan terutama pada sesi pertama dan kedua, sesi
pertama diberikan untuk melatih cara-cara megendalikan perilaku kekerasan dan
sesi kedua melatih bersikap asertif, dimana setelah diberikan sesi pertama dan
kedua itu diharapkan pasien mempunyai persepsi dan gambaran diri yang positif
sehingga dapat berperilaku asertif dalam menghadapi stressor. Untuk sistem
interpersonal (kelompok) pada sesi ke tiga dan empat, yaitu mengajak pasien
secara bersama-sama dengan kelompoknya untuk saling memberikan dukungan dalam
berperilaku asertif sehingga pasien dapat lebih adaptif dalam menghadapi
stressor.
DAPUS
Guilfoyle,
M. (2005). From therapeutic power to resistance: Therapy and cultural hegemony.
Theory & Psychology, 15(1), 101-124
Sadock,
Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition, 925 – 931.
Townsend,
M.C. 2009. Essentials of psychiatric mental health nursing .3rd ed. Philadelphia, F.A. Davis
Company
Videbeck,
Sheila L. 2008. Psychiatric mental health nursing. 3rd edition. Philadhelpia: Lippincott Williams
& Wilkins
Stuart,
G.W., and Laraia .2005., Principles and practice of psychiatric nursing .7th ed. St.Louis, Missouri:
Mosby Year Book
Kaplan
& Saddock. 2005. Comprehensive textbook of psychiatry. 8th ed, Lippincot: Williams
& Wilkins.
Tommey,
A.M and M.R. Alligood. 2006. Nursing Theorists and Their Work. Philadelphia
USA: Mosby
Alligood.
2010. Nursing Theory Utilization & Application. Fourth edition.
Philadelphia USA: Mosby
Wahyuningsih,D
2009. Pengaruh Assertiveness Training (AT) terhadap Perilaku Kekerasan pada
Klien Skizofrenia di RSUD Banyumas. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta
Khamida. TERAPI KELOMPOK SUPORTIF ASERTIF MENURUNKAN
NILAI PERILAKU KEKERASAN PASIEN SKIZOFRENIA BERDASARKAN MODEL KEPERAWATAN
INTERAKSI KING. Jurnal Keperawatan. Unusa: Surabaya.