Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan
konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini
dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif dan perilaku yang menyimpang.
Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi
perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau
konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu
munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk
membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari
dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi
kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi
individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya
berkaitan dengan positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy thinking.
Sedangkan Terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah
perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir
lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.
Tujuan CBT
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007;
Oemarjoedi, 2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting
dalam konseling. Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan
kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan
masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan
mencoba membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan
pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang.
Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah
dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.
Prinsip – Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik
atau permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami
prinsip-prinsip yang mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip ini
diharapkan dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi
dalam merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan
teknik-teknik CBT. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan
kajian yang diungkapkan oleh Beck (2011):
Prinsip nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan
pada formulasi yang terus berkembang dari permasalahan konseli dan
konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki
seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada
momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan
konseptualisasi kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya
sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara berfikir, merasa
dan bertindak.
Prinsip nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan
pada pemahaman yang sama antara konselor dan konseli terhadap
permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang
penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap
permasalahan konseli akan membuat pemahaman yang sama terhadap
permasalahan yang dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan menunjukan
sebuah keberhasilan dari konseling.
Prinsip nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan
kolaborasi dan partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam
konseling maka keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati
dengan konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi
konseling, karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap
sesi konseling.
Prinsip nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi
pada tujuan dan berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling
selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan.
Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli terhadap
pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus
pada permasalahan konseli.
Prinsip nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus pada
kejadiansaat ini. Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli
pada saat ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling
beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber
kekuatan dalam melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada
proses berfikir yang menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang
berpotensi merubah kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
Prinsip nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan
edukasi, bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya
sendiri, dan menekankan pada pencegahan. Sesi pertama CBT mengarahkan
konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya termasuk
proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya karena
CBT meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor
membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan mengevaluasi
proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian merencanakan rancangan
pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
Prinsip nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung
pada waktu yang terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling
membutuhkan pertemuan antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak
membutuhkan waktu yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat
membantu dan melatih konseli untuk melakukan self-help.
Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang
terstruktur.Struktur ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal,
menganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang
terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk
setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework
asigment), membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang
telah berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan
dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari
setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses
konseling lebih dipahami oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka
mampu melakukan self-help di akhir sesi konseling.
Prinsip nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan
konseli untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi
pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli
memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan
mempengaruhi suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor
membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan
dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli
untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan
mengurangi kondisi psikologis negatif. Konselor juga menciptakan
pengalaman baru yang disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli dilatih
untuk menciptakan pengalaman barunya dengan cara menguji pemikiran mereka
(misalnya: jika saya melihat gambar labalaba, maka akan saya merasa sangat
cemas, namun saya pasti bisa menghilangkan perasaan cemas tersebut dan
dapat melaluinya dengan baik). Dengan cara ini, konselor terlibat dalam
eksperimen kolaboratif. Konselor dan konseli bersama-sama menguji
pemikiran konseli untuk mengembangkan respon yang lebih bermanfaat
dan akurat.
Prinsip nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan
berbagai teknik untuk merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaanpertanyaan yang
berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konseling cognitive-behavior.
Pertanyaan dalam bentuk sokratik merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi
konseling. Dalam proses konseling, CBT tidak mempermasalahkan konselor
menggunakan teknik-teknik dalam konseling lain seperti kenik Gestalt,
Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses
konseling yang lebih saingkat dan memudahkan konelor dalam
membantu konseli. Jenis teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh
konseptualisasi konselor tehadap konseli, masalah yang sedang ditangani,
dan tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.
Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam CBT
(McLeod, 2006: 157-158) yaitu:
a.Menata keyakinan irasional.
b.Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai
sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
c.Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam
role play dengan konselor.
d.Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam
situasi ril.
e.Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas
yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100.
f.Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan
pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
g.Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan
cemas dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan secara
berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan
untuk mengurangi intensitas emosional konseli.
h.Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.
i.Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan
supaya bisa bertindak tegas.
Dalam Video ini, si anak memiliki pemikiran bahwa laba-laba merupakan binatang yang sangat menakutkan, selain itu juga ia sering mendapatkan mimpi buruk dari ketakutannya tersebut. Disitu terapis menata keyakinan irasional si anak dengan memberikan alasan alasan dan pernyataan mengenai laba-laba dan mimpi buruk dengan kalimat yang lebih rasional. Terapis juga menggunakan Bibliotherapy,
dimana si anak dibuat agar dapat menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang
sesuatu yang menakutkan dengan cara merubah mindset bahwa laba-laba adalah hewan yang menakutkan menjadi laba-laba merupakan hewan kecil yang tidak sama sekali menakutkan untuk dirinya. Terapis juga mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role
play dengan terapis dan mencoba menggunakan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril. Anak diajak belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran
positif.
Dapus
Bush, John Winston. (2003). Cognitive Behavioral Therapy: The Basics. [Online].
Tersedia: http://cognitivetherapy.com/basics.html
Beck, A. T. (1964). Thinking and Depression: II. Theory and
Therapy. Archives of General Psychiatry, 10, 561–571
Beck, Judith S. (2011). Cognitive-Behavior Therapy: Basic
and Beyond (2nded). New York: The Guilford Press.
McLeod, John. (2006). Pengantar Konseling:
Teori dan Studi
Kasus. Alih Bahasa oleh A.K.
Anwar. Jakarta: Kencana.
Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive
Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ Media.
apa tidak ada contoh yang dari indonesia?
BalasHapus